Achmad Zawawi

Achmad Zawawi

Pimpinan Pondok/Lembaga

Data Diri:

  • Alamat: Ngambakan, Bangunrejo, Sukorejo, Kab. Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia (63453)
  • TTL: Pasuruan, 10 June 1965
  • Usia: 59 thn
  • Gelar: Drs. KH.

Pendidikan di Gontor:

Lembaga Pendidikan/Pesantren

  • Ponpes Al Imam Putra
  • Alamat: Ngambakan, Bangunrejo, Sukorejo, Kab. Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia (63453)

Profil

Profil

Bila ada pernyataan Kyai Achmad Zawawi identik dengan Pondok Al Iman Putra, tidaklah salah. Setiap geliat mulai lahir hingga saat ini pondok Al Iman Putra di Ngambakan, Bangunrejo, Sukorejo, Ponorogo tak lepas dari pantauan dan kebijakan kyai Zawawi. Setiap sudut bangunan yang ada di sana, tak ada yang lepas dari sentuhan tangan kyai Zawawi. Awal membangun Al Iman putra memang -entah kebetulan atau betul-betul direncanakan- bertepatan dengan dinikahkannya Zawawi dengan Usnida Mubarokah, putri kedua pendiri Pondok Al Iman, KH Mahfudz Hakiem (alm). Saat itu, Al Iman masih berusia dua tahun, berlokasi di kediaman pendiri, Gandu Mlarak Ponorogo, dengan 80 santri putra dan putri. Telah terencana dengan baik oleh KH Mahfudz Hakiem dan menantu pertamanya, KH Imam Bajuri, lokasi pondok putra akan dipisahkan dari pondok putri sementara mereka berdua sudah sangat sibuk dengan perjuangan bidang pendidikan di daerah Gandu dan sekitarnya. Maka kehadiran Zawawi adalah jawabannya.

Masa Kecil dan Masa Muda

Achmad Zawawi lahir sebagai putra pertama dari pasangan orang tua yang sangat taat beragama, yaitu Bapak H. Nizar Baidlowi dan Ibu Tamami pada tanggal 10 Juni 1965 di desa Pekoren kecamatan Rembang Bangil Pasuruan, daerah yang sangat kental agama sehingga sejak dini Zawawi sudah kenal agama dengan sangat baik. Zawawi kecil sudah menampakkan prestasi dan keberaniannya sejak di bangku TK, yakni menjadi juara I lomba baca puisi se-kabupaten Pasuruan dan tampil di aloon-aloon Bangil. Sekolah Dasar pun ditempuhnya hanya dalam waktu 5 tahun atas keputusan dan kebijakan guru dan Kepala Sekolah Dasar Negeri Pekoren. Di luar jam sekolah SD, Zawawi dibimbing khusus oleh kakeknya, KH Abdul Salam -yang termasuk kyai khawas- tentang kehidupan agama, sosial, dan ekonomi. Di antara ajaran yang sangat berkesan adalah ia dapat membeli sepeda motor pada kelas 6 SD dari hasil jerih payahnya menggarap sawah dengan tanaman lombok. Di bidang sosial, kakeknya juga mengajarkan sifat dermawan dengan selalu menyembelih kambing untuk tamu-tamu yang mengikuti pengajian di rumahnya. Tidak cukup itu, di sela kehidupan dengan keluarganya, Zawawi juga nyantri kepada KH Mahfudh yang masih kerabatnya di pondok pesantren Miftahul Falah, tak jauh dari rumahnya.

Selepas SD, Zawawi memilih belajar di SMP Bangil. Lulus SMP, kembali Zawawi menunjukkan keberanian, kenekatan, dan kemandirianya dengan bersepeda pancal ke gunung Lawu dan danau Sarangan dari rumahnya yang kurang lebih berjarak 200 km. Dari sinilah Zawawi muda mengenal Pondok Modern Gontor. Ketika ia menyampaikan niatnya ingin mondok di sana, kakeknya tidak mengizinkan karena menganggap bahwa Pondok Modern Gontor berpaham Muhammadiyah. Sambil menunggu saat yang tepat, Zawawi masuk sekolah SPG Pasuruan. Hanya berjalan satu semester, H. Nizar, ayah Zawawi berhasil meyakinkan KH Abd Salam untuk menyekolahkan Zawawi ke Pondok Modern Gontor. Di awal nyantri di Gontor, kembali Zawawi menunjukkan pemikiran dan kemandiriannya. Dia sebenarnya bisa mengikuti tes masuk kelas I eksperimen (kelas intensif) dengan masa belajar empat tahun. Tetapi dia ingin memulai dari kelas I biasa dengan masa belajar enam tahun dengan alasan semakin lama mondok, semakin memahami dan menguasai ilmu dan kehidupan pondok.

Sejak kelas 5 KMI PM Gontor, Zawawi meminta kepada orang tuanya untuk mengurangi pengiriman biaya sekolah, karena ia sadar bahwa adik-adiknya lebih membutuhkannya. Sebagai pengurus OPPM bagian diesel, ia memang diberi fasilitas oleh PM Gontor untuk mendapatkan keringanan pembayaran uang pondok. Sejak itulah Zawawi mulai mandiri. Di kelas ini pula, Zawawi sudah memiliki keinginan untuk menjadi kyai dan mulai merancang konsep untuk citi-citanya tersebut. Di lingkungan teman-temannya, Zawawi dikenal sebagai santri yang berani dan memiliki jiwa kepemimpinan yang handal. Terbukti, dia sering mengetuai organisasi rayon, konsulat, kepanitiaan, dan lain-lain. Maka selepas dari KMI, ia terpilih untuk menjadi guru di KMI PM Gontor.

Sebagai guru yang juga mahasiswa ISID Gontor, Zawawi dan beberapa temannya masih menyempatkan diri untuk ngaji kepada KH Hasan Abdullah Sahal agar mendapatkan pengalaman dan pelajaran hidup dan kehidupan. Ia bersama teman-temannya juga mendirikan forum-forum ilmiah untuk mengasah intelektual mereka. Selain itu, ia dipercaya oleh pimpinan PM Gontor untuk turut serta membidani dan membidangi berdirinya beberapa unit usaha PM Gontor yang memang pada saat itu PM Gontor memulai berkiprah dalam pemberdayaan ekonomi tidak saja di internal pondok, tetapi di kawasan kota Ponorogo. Bersama beberapa guru, Ust. Zawawi mengelola Unit Kesejahteraan Keluarga PM Gontor yang bergerak dalam bidang usaha bahan bangunan.

Berawal dari keseringan Ust. Zawawi bertemu di sahirallayali dengan ustadznya, yaitu KH Mahfudh Hakiem -karena kebetulan pondok Al Iman yang didirikan KH Mahfudh tidak jauh dengan Toko Besi yang dikelolanya-, muncul rasa simpati KH Mahfudh kepadanya. Maka tawaran untuk menikah dengan putrinya pun muncul di saat keinginannya untuk melanjutkan studi ke Mesir dan tawaran-tawaran berbisnis dari kolega-koleganya sangat kuat. Melalui istikharah dan keyakinan bahwa membantu mengembangkan Pondok Al Iman jauh lebih bermanfaat, tawaran itupun tidak ditolaknya. Niat inipun direstui oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi, MA dan sebagai up grading, Ust. Zawawi ditugaskan bersama Ust. Ma’ruf untuk babat dan memulai pengajaran Pondok Gontor III atau Pondok Daarul Ma’rifat di Kediri.

Direktur KMI dan Pimpinan Pondok Pesantren Al Iman Putra

Setelah menikah, babat pondok pesantren Al Iman putra pun dilakukan dengan membangun bangunan pokok yaitu gedung kelas, asrama, dan MCK. Hijrah santri putra dari Gandu ke Ngambakan dengan berjalan kaki menempuh jarak 19 km atau dikenal dengan mashiratul Iman yang dilepas oleh para Pimpinan PM Gontor terlaksana pada tanggal 17 Oktober 1993. Dan mulai tanggal itulah ada kehidupan pondok di Al Iman putra. Achmad Zawawi sebagai direktur KMI sekaligus pengasuhan santri (KH Mahfudz Hakiem sebagai Pimpinan Pondok Putra sekaligus Putri) mendidik dan membina 70 santri. Belum adanya rumah tidak mengecilkan hati Zawawi dan istri. Dia mengambil satu ruang kelas yang dibagi menjadi beberapa ruang untuk keluarganya dan Pimpinan Pondok ketika berada di Al Iman Putra.

Sebelum berangkat berangkat menuntut ilmu ke Pondok Modern Gontor dengan segala keberatan sebagian besar kerabatnya, kakek KH Salam berpesan: “Le, ilmu itu sangat beragam. Kamu jangan mencari ilmu “macam-macam” selain yang diberikan pondok sampai kamu berumur 35 tahun”. Wejangan itu bukan tanpa makna. Genap usia 35 tahun, Zawawi diberi karunia oleh Allah, yaitu menyembuhkan penyakit dan membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi orang lain. Awalnya banyak santri yang pada saat itu sakit gigi. Zawawi mencoba untuk mengobati dan mendoakan, dengan izin Allah penyakit tersebut hilang. Karunia ini kemudian terdengar oleh masyarakat. Banyak masyarakat Ponorogo dan luar kota berdatangan untuk “meminta tolong”. Zawawi berprinsip apa yang dilakukan selain membantu sesama sebagai kewajiban sesama muslim, juga untuk kepentingan syiar pondok. Saat itu beliau mengalami pilihan yang dilematis, satu sisi menguntungkan pondok tetapi di sisi lain waktu untuk konsolidasi pondok dan membimbing santri jauh berkurang. Hingga suatu hari diingatkan oleh putri pertamanya yang waktu itu masih berusia 5 tahun dengan menulis dengan kapur di pintu masuk rumah “ Ayah tidak ada di rumah, tidak menerima tamu” tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sejak itu, penerimaan tamu diatur dengan komposisi yang menguntungkan pondok.

Februari 2004 adalah tahun duka bagi Al Iman, karena pendiri sekaligus pimpinan pondok, KH Mahfudz Hakiem dipanggil oleh Allah SWT keharibaanNya. Beruntung almarhum telah memiliki pemikiran yang jauh menjangkau kader pimpinan pondok. Di masa-masa akhir hayat almarhum, urusan-urusan pondok telah banyak didelegasikan kepada para menantunya, Al Iman putri kepada K Imam Bajuri, sedangkan Al Iman putra kepada K. Achmad Zawawi. Walaupun kehilangan, pondok Al Iman tidak sampai mengalami kesenjangan. Sepeninggal almarhum, pimpinan Al Iman putra dilanjutkan oleh ust. Zawawi.

Bagi ustadz Zawawi, kyai ada tiga macam: a) kyai pondok, yang harus selalu mengurus dan memikirkan pondok; b) kyai masyarakat, yang bertugas membantu masyarakat dalam beragama dan berbudaya seperti memimpin tahlil, acara-acara pengantinan, dan lain-lain; dan c) kyai mimbar dan politik, yang berkecimpung dalam mimbar-mimbar pengajian dan politik. Dan kyai pondoklah yang menjadi pilihan ustadz Zawawi. Sehingga banyak sekali tawaran untuk manggung di pengajian-pengajian, manten, bahkan tawaran politik yang ditolaknya secara halus. Beliau berniat untuk menjaga konsistensi pada pilihannya.

Di sela kesibukan membimbing santri, asatidz, dan mengelola pondok secara keseluruhan, Zawawi masih menyempatkan diri mengajar masyarakat. Walaupun tidak memilih menjadi kyai masyarakat, Zawawi mempersilahkan masyarakat yang membutuhkan bimbingannya datang ke pondok Al Iman untuk ngaji. Saat ini di antara yang secara rutin ngaji adalah majelis ta’lim desa Bangunrejo-Kauman yang beranggotakan ibu-ibu, sekelompok wiraswasta dari Ponorogo, Solo, Tuban, Wonogiri, dan masih banyak lagi.

Pendidikan vs Pembudayaan

Bagi Kyai Achmad Zawawi pendidikan adalah ruh hidupnya. Tiada hari tanpa mendidik. Secara formal, beliau menjadi pendidik di Pondok Al Iman putra, putri, dan Pondok Modern Gontor. Secara informal dan nonformal, setiap saat mulai ba’da subuh sampai tengah malam bahkan sampai subuh lagi beliau mendidik santri, asatidz, dan masyarakat secara privat dan kongkrit, bergantung pada kebutuhan mereka.Salah satu pola pendidikan dan pembudayaan yang sering diterapkan adalah triad and error Dengan memberikan tugas langsung di lapangan, santri dan asatidz akan mencoba mencari pola kerja sendiri. Kesalahan yang dilakukan adalah bentuk pembelajarannya. Melalui evaluasi, santri akan mendapatkan ilmu. Dengan cara ini, Kyai Zawawi tidak hanya sekedar mendidik tetapi juga membudayakan kehidupan Islami. Dan ini pula yang menjadi ciri khas Pondok Pesantren Al Iman Putra, setiap sisi kehidupan dilakukan berdasarkan musyawarah dengan penghayatan yang tinggi. Sebagai contoh adalah pola hidup sederhana dan mandiri yang diajarkan oleh Kyai Zawawi telah menjadi budaya di Al Iman putra. Bila pondok ditinggal Kyai Zawawi untuk waktu yang agak lama, program tetap berjalan dengan baik. Ketika salah satu ustadz ditanya, jawabnya walaupun secara fisik Kyai Zawawi tidak berada di pondok, tetapi ruhnya selalu berada bersama para asatidz dan santri.

Keluarga dan Perannya

Perjalanan pondok pesantren Al Iman putra semakin baik ketika adik Kyai Zawawi, H. Iman Nur Hidayat, MA beserta istri, Hj. Saiyah Umma Taqwa, MA dan putra-putrinya kembali ke tanah air setelah lebih dari sepuluh tahun menempuh pendidikan di Al Azhar Cairo Mesir. Saat ini Drs. K. Acmad Zawawi dengan istrinya, Dra. Usnida Mubarokah, M.Pd. dan empat putra putrinya Nasherat Zimam AlHusna, Aghyal Maghrabi Habibullah, Damirdas Kaffa Habibullah, dan Haylala Saknaa beserta keluarga H. Iman Nur Hidayat, MA bekerja sama dalam menegakkan agama Allah melalui pengelolaan Pondok Pesantren Al Iman Putra. Semoga Allah senantiasa meridloi dan memberkahi. Allahumma Amin.

Website: https://al-iman.ponpes.id
Youtube: alimanponorogo
IG: alimanputraponorogo